
Konferensi multilateral perubahan iklim menyatukan delegasi dari berbagai negara untuk mencari solusi bersama
Peran Diplomasi Multilateral dalam Mengatasi Krisis Iklim
Diplomasi multilateral dalam konteks perubahan iklim merujuk pada proses negosiasi dan kerja sama yang melibatkan banyak negara untuk mencapai kesepakatan bersama dalam menangani krisis iklim global. Pendekatan ini menjadi sangat penting karena perubahan iklim merupakan masalah lintas batas yang tidak dapat diselesaikan oleh satu negara secara sendirian.
Forum Internasional Utama dalam Diplomasi Iklim

UNFCCC dan COP menjadi forum utama diplomasi multilateral perubahan iklim
UNFCCC
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dibentuk pada tahun 1992 sebagai kerangka kerja utama untuk kerja sama internasional dalam mengatasi perubahan iklim. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 197 negara dan menjadi landasan bagi negosiasi iklim global.
Conference of Parties (COP)
COP merupakan pertemuan tahunan negara-negara anggota UNFCCC untuk membahas dan menegosiasikan kebijakan iklim global. Forum ini telah menghasilkan beberapa kesepakatan penting seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.
Paris Agreement
Ditandatangani pada COP21 tahun 2015, Perjanjian Paris menjadi tonggak penting dalam diplomasi iklim dengan menetapkan target untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C, bahkan diupayakan 1,5°C dibandingkan era pra-industri.
Pelajari Lebih Dalam tentang Diplomasi Iklim
Dapatkan panduan komprehensif “Memahami Diplomasi Multilateral dalam Perubahan Iklim” untuk memperdalam pengetahuan Anda tentang mekanisme negosiasi global.
Studi Kasus: Kesepakatan Kopenhagen vs. Kesuksesan Paris Agreement

Perbandingan hasil diplomasi multilateral: Kesepakatan Kopenhagen dan Perjanjian Paris
Perjanjian Paris (2015)
- Pendekatan “bottom-up” dengan Nationally Determined Contributions (NDCs)
- Keterlibatan aktif negara berkembang dan maju
- Mekanisme transparansi dan pelaporan yang kuat
- Dukungan finansial dan teknologi yang terstruktur
- Ratifikasi oleh 195 negara
Kesepakatan Kopenhagen (2009)
- Pendekatan “top-down” yang gagal mendapat konsensus
- Kesenjangan antara negara maju dan berkembang
- Kurangnya mekanisme implementasi yang jelas
- Komitmen pendanaan yang tidak terealisasi
- Hanya “dicatat” bukan “diadopsi” oleh COP
Perbedaan mendasar antara kedua kesepakatan ini menunjukkan evolusi penting dalam diplomasi multilateral perubahan iklim. Kegagalan Kopenhagen menjadi pelajaran berharga yang membentuk pendekatan lebih inklusif dan fleksibel dalam Perjanjian Paris, membuktikan bahwa diplomasi multilateral dapat beradaptasi dan berkembang untuk mencapai hasil yang lebih efektif.
Tantangan dalam Diplomasi Multilateral Perubahan Iklim

Konflik kepentingan menjadi tantangan utama dalam negosiasi iklim multilateral
Konflik Kepentingan: Negara Maju vs. Negara Berkembang
Aspek | Posisi Negara Maju | Posisi Negara Berkembang |
Tanggung Jawab Historis | Mengakui tanggung jawab historis tetapi menekankan tanggung jawab bersama saat ini | Menekankan prinsip “common but differentiated responsibilities” berdasarkan emisi historis |
Target Pengurangan Emisi | Mendorong target ambisius untuk semua negara | Meminta fleksibilitas untuk pembangunan ekonomi |
Pendanaan Iklim | Menyediakan pendanaan terbatas dengan syarat akuntabilitas | Menuntut pendanaan yang lebih besar dan mudah diakses |
Transfer Teknologi | Mendukung transfer dengan perlindungan hak kekayaan intelektual | Menginginkan akses teknologi tanpa hambatan paten |
Isu Pendanaan Iklim dan Transfer Teknologi

Pendanaan iklim dan transfer teknologi menjadi isu krusial dalam diplomasi multilateral
Pendanaan iklim menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam diplomasi multilateral perubahan iklim. Pada COP15 di Kopenhagen, negara-negara maju berkomitmen untuk memobilisasi $100 miliar per tahun hingga 2020 untuk membantu negara berkembang. Namun, menurut laporan IPCC 2023, realisasi komitmen ini masih jauh dari target, dengan kesenjangan pendanaan yang signifikan.
Transfer teknologi juga menjadi tantangan besar. Negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan akses ke teknologi rendah karbon untuk transisi energi, namun sering terhambat oleh isu paten dan biaya tinggi. Diplomasi multilateral berupaya mengatasi hal ini melalui mekanisme seperti Climate Technology Centre and Network (CTCN), tetapi implementasinya masih belum optimal.
“Perubahan iklim telah menjadi ancaman keamanan global yang signifikan, terutama bagi negara-negara kepulauan di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ancaman seperti kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan krisis sumber daya menuntut respons yang lebih terpadu melalui diplomasi pertahanan.”
Solusi Inovatif dalam Diplomasi Perubahan Iklim

Kolaborasi transnasional antar kota menjadi pendekatan inovatif dalam diplomasi iklim
Kolaborasi Transnasional Antar Kota dan Provinsi
Sementara negosiasi tingkat negara sering menghadapi kebuntuan, diplomasi multilateral telah berkembang dengan melibatkan aktor sub-nasional. Jaringan seperti C40 Cities dan Under2 Coalition memungkinkan kota dan provinsi berkolaborasi langsung dalam aksi iklim, melampaui batasan politik nasional.
Di Indonesia, kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung telah bergabung dalam jaringan internasional ini, berbagi praktik terbaik dan mengimplementasikan solusi iklim lokal yang berdampak global. Pendekatan ini memungkinkan aksi iklim terus berjalan bahkan ketika diplomasi tingkat nasional mengalami stagnasi.
Peran Aktor Non-Negara dalam Diplomasi Iklim

Perusahaan, NGO, dan masyarakat sipil menjadi aktor penting dalam diplomasi iklim kontemporer
Perusahaan Multinasional
Lebih dari 1.000 perusahaan global telah berkomitmen pada target berbasis sains (SBTI) untuk mengurangi emisi. Inisiatif seperti RE100 mendorong perusahaan beralih ke 100% energi terbarukan, menciptakan tekanan pasar yang mendukung diplomasi formal.
Organisasi Non-Pemerintah
NGO seperti Greenpeace, WWF, dan WRI berperan penting dalam menyediakan keahlian teknis, memantau implementasi kesepakatan, dan memobilisasi dukungan publik untuk aksi iklim yang ambisius dalam forum multilateral.
Gerakan Masyarakat Sipil
Gerakan seperti Fridays for Future dan Climate Action Network telah mengubah lanskap diplomasi iklim dengan menciptakan tekanan publik yang mendorong pemerintah untuk mengambil posisi lebih ambisius dalam negosiasi multilateral.
Bergabung dalam Lokakarya Diplomasi Iklim
Pelajari bagaimana Anda dapat berkontribusi dalam diplomasi iklim melalui lokakarya virtual yang dipandu oleh para ahli kebijakan iklim internasional.

Inovasi mekanisme pendanaan multilateral untuk aksi iklim
Inovasi dalam mekanisme pendanaan juga menjadi solusi penting dalam diplomasi multilateral perubahan iklim. Green Climate Fund, Climate Investment Funds, dan pasar karbon internasional menyediakan jalur baru untuk memobilisasi sumber daya finansial. Indonesia sendiri telah mengembangkan skema REDD+ untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, yang didukung oleh kerja sama bilateral dengan Norwegia.
Masa Depan Diplomasi Iklim Pasca-COP28

Diplomasi iklim pasca-COP28 akan semakin kompleks dan melibatkan berbagai aktor
COP28 di Dubai menandai titik penting dalam evolusi diplomasi multilateral perubahan iklim. Untuk pertama kalinya, kesepakatan global secara eksplisit menyebutkan “transisi dari bahan bakar fosil” sebagai bagian dari solusi iklim. Namun, implementasi komitmen ini akan menjadi tantangan besar dalam diplomasi iklim ke depan.
Menurut laporan IPCC 2023, dunia memiliki waktu kurang dari satu dekade untuk mengurangi emisi secara drastis guna mencegah dampak perubahan iklim yang paling parah. Hal ini menjadikan diplomasi multilateral semakin mendesak, dengan kebutuhan untuk meningkatkan ambisi dan implementasi komitmen nasional (NDCs).
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan salah satu dari 10 penghasil emisi terbesar, memiliki peran strategis dalam diplomasi multilateral perubahan iklim. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% (atau 41% dengan dukungan internasional) pada tahun 2030 menjadi bagian penting dari upaya global.
Masa depan diplomasi iklim akan semakin inklusif, dengan keterlibatan yang lebih besar dari aktor non-negara, pendekatan yang lebih terintegrasi antara mitigasi dan adaptasi, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas. Diplomasi multilateral dalam perubahan iklim bukan lagi sekadar negosiasi antar pemerintah, tetapi telah berkembang menjadi gerakan global yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Aksi kolektif global melalui diplomasi multilateral menjadi kunci mengatasi krisis iklim
Sebagai penutup, diplomasi multilateral dalam perubahan iklim merupakan instrumen penting dalam upaya global mengatasi krisis iklim. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, evolusi pendekatan diplomasi yang lebih inklusif dan inovatif memberikan harapan baru. Keberhasilan upaya ini akan bergantung pada komitmen politik yang kuat, mobilisasi sumber daya yang memadai, dan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk Indonesia sebagai salah satu aktor kunci di kawasan Asia Tenggara.
Tetap Terinformasi tentang Perkembangan Diplomasi Iklim
Dapatkan update terbaru tentang diplomasi multilateral perubahan iklim dan peran Indonesia melalui newsletter bulanan kami.
➡️ Baca Juga: Pemerintah Sambut Cloud Region Microsoft: Bukti Indonesia Siap
➡️ Baca Juga: Beasiswa Keluarga Tidak Mampu: Informasi dan Pendaftaran